Selasa, 01 Mei 2012


LAPORAN  PENDAHULUAN DIFTERI
KONSEP DASAR


A.  Pengertian
  1. Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae (FKUI, 1999).
  2. Diftery adalah toksiko infeksi yang disebabkan oleh Corynebacteryum diphtheriae ( Sarah S Long ,2003 ).
  3. Difteria adalah suatu infeksi akut yang mudah menular dan yang diserang terutama saluran pernafasaan bagian atas dengan tanda khas timbulnya pseudo membran (Ngastiyah, 2005).
  4. Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtriae (Rampengan, 1993).
  5. Difteria adalah suatu infeksi akut yang mudah menular,sangat berbahaya pada anak –anak terutama menyerang saluran pernafasan bagian atas,penularannya melalui percikan ludah dari orang yang membawa kuman ke orang lain yang sehat (Sulianti Suroso. 2004).
  6. Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil toksik (racun) Corynebacterium diphteriae. (Iwansain.2008).
  7. Difteri adalah infeksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae dengan bentuk basil batang gram positif (Jauhari,nurudin. 2008).
  8. Difteri adalah suatu infeksiakut yang disebabkan oleh bakteri penghasil racun Corynebacterium diphteriae. (Fuadi, Hasan. 2008). 
B. Etiologi dan klasifikasi
Penyebabnya adalah Corynebacterium diphteriae. Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah yang berasal dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi  oleh bakteri. Biasanya bakteri ini berkembangbiak pada atau disekitar selaput lender mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Pewarnaan sediaan langsung dapat dialkuakan dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi.
Menurut Staf Ilmu Kesehatan Anak FKUI dalam buku kuliah ilmu kesehatan anak, sifat  bakteri Corynebacterium diphteriae :
  1. Gram positif
  2. Aerob
  3. Polimorf
  4. Tidak bergerak
  5. Tidak berspora
Disamping itu bakeri ini dapat mati pada pemanasan 60º C selama 10 menit, tahan beberapa minggu dalam es, air, susu dan lendir yang telah mengering.Terdapat tiga jenis basil yaitu bentuk gravis, mitis, dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk koloni  dalam biakan agar darah yang mengandung kalium telurit. Basil Difteria mempunyai sifat:
  1. Mambentuk psedomembran yang sukar dianggkat, mudah berdarah, dan berwarna putih keabu-abuan yang meliputi daerah yang terkena.terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan kuman.
  2. Mengeluarkan eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diserap dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf.
Menurut tingkat keparahannya, Staff Ilmu Kesehatan Anak FKUI membagi penyakit ini menjadi 3 tingkat yaitu :
  1. Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan.
  2. Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyaring sampai faring (dinding belakang rongga mulut), sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
  3. Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai  dengan gejala komplikasi  seperti miokarditis (radang otot jantung), paralysis (kelemahan anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).
Menurut  bagian ilmu kesehatan anak FKUI, penyakit ini juga dibedakan menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien :
  1. Difteri hidung
Gejala paling ringan dan paling jarang (2%). Mula-mula tampak pilek, kemudian secret yang keluar tercampur darah sedikit yang berasal dari pseudomembran. Penyebaran pseudomembran dapat mencapai faring dan laring.
  1. Difteri faring dan tonsil ( Difteri Fausial ).
Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas. Paling sering dijumpai ( 75%). Gejala mungkin ringan tanpa pembentukan pseudomembran. Dapat sembuh sendiri dan memberikan imunitas pada penderita.Pada kondisi yang lebih berat diawali dengan radang tenggorokan dengan peningkatan suhu tubuh yang tidak terlalu tinggi, pseudomembran awalnya hanya berupa bercak putih keabu-abuan yang cepat meluas ke nasofaring atau ke laring, nafas berbau, dan ada pembengkakan regional leher tampak seperti leher sapi (bull’s neck). Dapat terjadi sakit menelan, dan suara serak serta stridor inspirasi walaupun belum terjadi sumbatan laring.


  1. Difteri laring dan trakea
Lebih sering merupakan penjalaran difteri faring dan tonsil, daripada yang primer. Gejala gangguan nafas berupa suara serak dan stridor inspirasi jelas dan bila lebih berat timbul sesak nafas hebat, sianosis, dan tampak retraksi suprasternal serta epigastrium. Ada bull’s neck, laring tampak kemerahan dan sembab, banyak sekret, dan permukaan ditutupi oleh pseudomembran. Bila anak terlihat sesak dan payah sekali perlu dilakukan trakeostomi sebagai pertolongan pertama.
  1. Difteri kutaneus dan vaginal
Dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membrane diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi justru tidak terasa apa-apa. Difteri dapat pula timbul pada daerah konjungtiva  dan umbilikus.

C.    Patofisiologi
 Basil hidup dan berkembangbiak pada traktus respiratorius bagian atas terutama bila terdapat  peradangan kronis pada tonsil, sinus, dan lain-lain.Selain itu dapat juga pada vulva, kulit, mata, walaupun jarang terjadi. Pada tempat-tempat tersebut basil membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin.
Pseudomembran timbul lokal kemudian menjalar kefaring, tonsil, laring, dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening sekitarnya akan membengkak dan mengandung toksin. Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan menyebabkan miokarditis toksik atau jika mengenai jaringan saraf perifer sehingga timbul paralysis terutama otot-otot pernafasan. Toksin juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal, yang dapat menimbulkan nefritis interstitialis. Kematian pasien difteria pada umumnya disebabkan  oleh terjadinya sumbatan jalan nafas akibat pseudomembran pada laring dan trakea, gagal jantung karena miokardititis, atau gagal nafas akibat terjadinya bronkopneumonia.
Penularan penyakit difteria adalah melalui udara (droplet infection), tetapi dapat juga melalui perantaraan alat atau benda yang  terkontaminasi oleh kuman difteria.Penyakit dapat mengenai bayi tapi kebayakan pada anak usia balita. Penyakit Difteria dapat berat atau ringan bergantung dari virulensi, banyaknya basil, dan daya tahan tubuh anak. Bila ringan hanya berupa keluhan sakit menelan dan akan sembuh sendiri serta dapat menimbulkan kekebalan pada anak jika daya tahan tubuhnya baik. Tetapi kebanyakan pasien datang berobat sering dalam keadaan berat seperti telah adanya bullneck atau sudah stridor atau dispnea. Pasien difteria selalu dirawat dirumah sakit karena mempunyai resiko terjadi komplikasi seperti mioarditis atau sumbatan jalan nafas (Ngastiyah, 1997).
Menurut Iwansain,2008 dalam www.iwansain.wordpress.com secara sederhana pathofisiologi difteri yaitu :
  1. Kuman difteri masuk dan berkembang biak pada saluran nafas atas, dan dapat juga pada vulva, kulit, mata.
  2. Kuman membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran timbul lokal dan menjalar dari faring, laring, dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening akan tampak membengkak dan mengandung toksin.
  3. Bila eksotoksin mengenai otot jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis dan timbul paralysis otot-otot pernafasan bila mengenai jaringan saraf.
  4. Sumbatan pada jalan nafas sering terjadi akibat dari pseudomembran pada laring dan trakea dan dapat menyebabkan kondisi yang fatal.


D.    Manifestasi Klinis
Gejala mulai timbul dalam waktu 1-4 hari setelah terinfeksi.
Sacara umum gejala yang timbul berupa (FKUI, 1999) :
  1. Demam yang tidak terlalu tinggi
  2. Denyut jantung cepat
  3. Lesu dan lemah
  4. Menggigil
  5. Mual muntah
  6. Nyeri saat menelan dan anoreksia
  7. Pucat
  8. Pembengkakan kelenjar limfa dileher
  9. Sakit kepala
  10. Pembengkakan kelenjar limfa dileher
  11. Sesak nafas
  12. Serak
 E.     Komplikasi
Komplikasi yang timbul pada pasien difteri menurut  Rampengan (1993) yaitu :
  1. Infeksi tumpangan oleh kuman lain
Infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman  Streptococus dan staphylococcus. Pasien dengan infeksi tumpangan kuman Streptococus sering mengalami panas tinggi.
  1. Lokal ( obstruksi jalan nafas )
Obstruksi jalan nafas dapt terjadi akibat membran atau oedema jalan nafas dengan segala akibatnya,  bronkopneumonia dan atelektasis.
  1. Sistemik
    1. Kardiovaskuler
1)      Miokarditis
Sering timbul akibat komplikasi difteri tetapi dapat juga terjadi pada bentuk ringan.komlikasi terhadap penyakit jantung pada anak diperkirakan 10-20%. Makin luas lesi local dan makin terlambat pemberian oksitosin,miokarditis makin sering terjadi.faktor lain yang mempengaruhi terjadinya miokarditis yaitu virulensi kuman.
Melemahnya jantung pertama atau  adanya aritmia  menunjukan gejala-gejala miokarditis.
Maimunah dkk (1965) membagi kelainan EKG pada miokarditis difteri atas:
a)      Gangguan kondiksi .
b)      Kerusakan miokard:perubahan gelomgang T yang disertai dengan atau tanpa deviasi segmen ST.
c)      Aritmia: sinus takikardia atau bradikardia .
2)      Neuritis
Manifestasi klinisnya yaitu:
a)      Timbul setelah masa laten
b)      Lesi biasanya bilateral dimana motorik kena lebih dominant daripada sensorik
c)      Kelainan ini biasanya sembuh sempurna
  1. Susunan saraf
Penderita difteri akan mengalami komplikasi pada system saraf terutama sistem motorik.
Parese atau paralysis dapat berupa :
1)      Paralisis atau parese palatum mole
a)      Merupakan manifestasi sraf yang paling sering
b)      Timbul pada minggu ketiga dank has dengan adanya suara hidung dan regurgutasi hidung.
c)      Kelainan ini biasanya hilang sama sekali dalam 1-2 minggu.
2)      Ocular palsy
Biasanya timbul pada minggu kelima atau khas ditandai oleh paralisisdari otot akomodasi yang menyebabkan penglihatan menjadi kabur,otot yang terkena adalah rectus exsternus.
3)      Paralisis diafragma
Dapat tejadi pada minggu ke5-7
Paralysis ini disebabkan oleh neuritis n. phrenicus dan bila tadak segera diatasi penderita akan meninggal.
4)      Paresis atau paralysis anggota gerak
Dapat terjadi pada minggu ke6-10
Pada pemeriksaan didapati lesi bilateral, reflek tendon menghilang, cairan cerebrospinal menunjukan peningkatan protein yang mirip Guillian Barre Syndrom.
  1. Urogenital
Dapat tejadi neftritis sehingga harus diperhatikan warna dan volumenya apakah normal atau tidak.
 F.     Prognosis
Menurut Ngastiyah (2005) prognosis tergantung pada :
  1. Umur pasien, makinmuda usianya makin jelek prognosisnya.
  2. Perjalanan penyakit, makin terlambat diketemukan makin buruk keadaanya.
  3. Letak lesi difteria, bila dihidung tergolong ringan.
  4. Keadaan umum pasien, bila keadaan gizinya buruk, juga buruk.
  5. Terdapat komplikasi miokarditis sangat memperburuk prognosis.
  6. Pengobatan terlambat pemberian ADS, prognosis makin buruk.
 G.    Penatalaksaan
  1. Penatalaksanaan medis
    1. Pengobatan Umum
Terdiri dari perawatan yang baik, istirahat mutlak di tempat tidur, isolasi penderita dan pengawasan ketat atas kemungkinan timbulnya komplikasi antara lain pemeriksaan EKG setiap minggu (Buku kuliah ilmu kesehatan anak FKUI, 1999).
  1. Pengobatan Spesifik (Buku kuliah ilmu kesehatan anak FKUI, 1999)
1)      Anti Diphteri Serum (ADS) diberikan sebanyak 20.000U/hari selam 2 hari berturut-turut, dengan sebelumnya dilakukan uji kulit dan mata.
2)      Antibiotika, penicillin prokain 50.000U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas panas. Pada penderita yang dilakukan trakeostomi, ditambahkan kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari, dibagi 4 dosis.
3)      Kortikosteroid, dimaksudkan untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat berbahaya. Dapat diberikan prednisone 2mg/kgBB/hari selama 3 minggu yang kemudian dihentikan secara bertahap.
  1. Keperawatan .
Menurut Ngastiyah (1997),penatalaksanaan keperawatan pada pasien difteri yaitu pasien dirawat dikamar isolasi yang tertutup. Petugas harus memakai skort (celemek) dan masker yang harus diganti tiap pergantian tugas atau bila kotor. Harus disediakan pula perlengkapan cuci tangan, desinfektan sabun, lap atau handuk yang kering. Juga tempat untuk merendam alat makan yang diisi dengan desinfektan. Masalah yang perlu diperhatikan adalah resiko terjadi komplikasi obstuksi jalan nafas, miokarditis, komplikasi pada ginjal, komplikasi susunan saraf pusat, gangguan masukan nutrisi, gangguan rasa aman dan nyaman, resiko terjadi efek samping dari pengobatan, kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit dan perawatan trakheostomi (jika pasien perlu dilakukan trakheostomi).

  1. H.    Pencegahan
Pencegahan penyakit difteria (Ngastiyah, 1997) ada beberapa macam cara yaitu :
  1. Imunisasi
Penurunan drastic morbidity difteri sejak dilakukan pemberian imunisasi.Imunisasi aktif diberikan dengan penyuntikan toksoid.imunisasi dasar dimulai pada umur 3 bulan dilakuakan 3 kali berturut-turut dengan selang wktu 1 bulan.biasanya diberikan bersamaan dengan toksoid tetanus dan basil B,pertusis yang telah dimatikan sehingga  disebut DPT.
Vaksinasi ulang dilakukan 1 tahun setelah suntikan terakhir imunisasi dasar (1 ½-2 tahun dan5 tahun,selanjutnya setiap 5 tahun sampai usia 15 tahun hanya diberiksn vaksin difteri jika kontak dengan penderita difteri.doosis yang diberikan adalah 0,5 setiap kali pemberian.
  1. Isolasi penderita
Penderita harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan kuman difteri dua kali berturut-turut negative.
  1. Pencarian seorang karier difteri
Dengan dilakukan uji shick.bila diambil hapusan tenggorok ditemukan Corynebacterium diphteriae pasien (karier) diobati, bila perlu dilakukan tonsilektomi.
  1. Pencegahan terhadap kontak
Terhadap anak yang kontak dengan difteriharus diisolasi selama 7 hari.Bila dalam pengamatan tampak gejala-gejala maka penderita tersebut harus diobati.Bila tidak ada gejala klinis maka diberi iminisasi difteri.
  1. I.       Pemeriksaan Penunjang
    1. Pemeriksaan laboratorium: Apusan tenggorok terdapat kuman Corynebakterium difteri (Buku kuliah ilmu kesehatan anak, 1999).
    2.  Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin terdapat albuminuria ringan (Ngastiyah, 1997).
    3. Pemeriksaan bakteriologis mengambil bahan dari membrane atau bahnan di bawah membrane, dibiak dalam Loffler, Tellurite dan media blood ( Rampengan, 1993 ).
    4. Lekosit dapat meningkat atau normal, kadang terkadi anemia karena hemolisis sel darah merah (Rampengan, 1993 )
    5. Pada neuritis difteri, cairan serebrospinalis menunjukkan sedikit peningkatan protein (Rampengan, 1993 ).
    6. Schick Tes: tes kulit untuk menentukan status imunitas penderita, suatu pemeriksaan swab untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung antitoksin. Dengan titer antitoksin 0,03 ml satuan permilimeter darah cukup dapat menahan infeksi difteri. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MLD (Minimal Letal Dose) yang diberikan intrakutan dalam, bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0,1 ml. Bila orang tersebut tidak mengandung antitoksin, akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan akan hilang setelah beberapa minggu. Pada orang yang mengandung titer antitoksin yang rendah, uji shick dapat positif pada orang dengan imunitas atau mengandung anti toksin yang tinggi. Positif palsu dapat terjadi akibat reaksi alergi terhadap protein antitoksin yang menghilang dalam 72 jam.Tes ini tidak berguna pada diagnosis dini, baru dapat dibaca beberapa hari kemudian (Buku kuliah ilmu kesehatan anak FKUI, 1999 ).
    7. Apabila pasien mengalami komplikasi kejantung (miokarditis),pada pemeriksaan EKG hasilnya :Low voltage, depresi segment S ( Buku kuliah ilmu kesehatan anak FKUI, 1999)





ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DIFTERI

  1. A.    Pengkajian
            Menurut Doenges (1994), pengkajian pada pasien difteri meliputi :
  1. Aktivitas / istirahat
    1. Tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari.
    2. Kurang tidur, penurunan kemampuan beraktivitas, pusing.
    3. Fatigue.
    4. Insomnia.
    5. Berat badan menurun.
    6. Sirkulasi
      1. Nadi meningkat, takikardi.
      2.  Aritmia.
      3. Nutrisi
        1. Anoreksia
        2. Sulit menelan / sakit.
        3. Turgor kulit menurun
        4. Edema laring, faring
        5. Berat badan menurun.
        6. Pernafasan
          1. Sulit bernafas
          2. Produksi sputum meningkat.
          3. Dypsneu.
          4.  Pada tenggorok ada luka.
          5.  Edema mukosa laring, faring.
          6. Pembesaran kelenjar getah bening leher.
          7. Pernafasan cepat dan dangkal.
          8. Dada : penggunaan otot bantu pernafasan.
Auskultasi : terdengar wheezing.
  1. Interaksi sosial
    1. Merasa tergantung.
    2. Pembatasan mobilitas fisik
    3. Data Penunjang
      1. Laboratorium: Apusan tenggorok terdapat kuman Corynebacterium difteri.
      2. EKG : Low voltage, depresi segment ST, gelombang T terbalik.

  1. B.     Diagnosa
    1. Pola nafas napas tidak efektif berhubungan dengan edema laring.
    2. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dengan anoreksia
    3. Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi.
    4. Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan keadaan orang terdekat sakit dan kurang pengetahuan terhadap kondisi anak.
    5. Kecemasan keluarga berhubungan dengan perubahan status kesehatan anaknya.
    6. Kurang pengetahuan mengenai penyebab proses,prognosis penyakit berhubungan dengan kurangnya informasi.
    7. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekret berlebih.
    8. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan proses penyakit.
    9. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.

B . Intervensi
Dx 1 : Pola nafas napas tidak efektif berhubungan dengan edema laring.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tentang Oxygen theraphy selama 1 X 24 jam diharapkan pola nafas pasien kembali normal yang ditunjukan dengan Respiratory status : Airway patency dengan skala 4.
NOC : Respiratory status : Airway patency
  1. Frekuensi pernafasan dbn
  2. Irama nafas sesuai dengan yang diharapkan
  3. Pengeluaran sputum pada jalan nafas.
  4. Tidak ada suara nafas tambahan
  5. Bernafas mudah
  6. Tidak ada dyspnea
Skala
Skala 1 = Tidak pernah menunjukan
Skala 2 = Jarang menunjukan
Skala 3 = Kadang menunjukan
Skala 4 = Sering menunjukan
Skala 5 = Selalu menunjukan
NIC : Oxygen theraphy
  1. Bersihkan mulut hidung dan secret trakea
  2. Pertahankan jalan nafas yang paten
  3. Monitor aliran oksigen
  4. Observasi adanya tanda-tanda hipoventilasi
  5. Monitor adanya suara nafas tambahan

Dx 2 : Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dengan anoreksia
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tentang terapi nutrisi selama 1 X 24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi terpenuhi yang ditunjukan dengan status nutrisi berskala 4.
NOC : Status nutrisi
  1. Laporkan nutrisi adekuat
  2. Masukan makanan dan cairan adekuat
  3. Energi adekuat
  4. Massa tubuh normal
  5. Ukuran biokimia normal
Skala
Skala 1 = Sangat berbahaya
Skala 2 = Berbahaya
Skala 3 = Sedang / tidak terlalu berbahaya
Skala 4 =Sedikit berbahaya
Skala 5 = Tidak berahaya
NIC : Terapi Nutrisi
  1. Monitor makanan/cairan yang dicerna dan hitung masukan kalori tiap hari
  2. Tentukan makanan kesukaan dengan mempertimbangkan budaya dan keyakinannya
  3. Tentukan kebutuhan pemberian makan melalui NGT
  4. Dorong pasien untuk memilih makanan yang lunak
  5. Dorong masukan makanan tinggi kalsium

Dx 3:         Nyeri akut berhubungan dengan  proses inflamasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan  manajemen nyeri dan manajemen analgetik selama 1 x 24 jam didharapkan nyeri berkurang atau hilang yang ditunjukkan dengan kontrol nyeri meningkat dan skala nyeri menurun, dengan skala 4.
NOC I : Kontrol nyeri
  1. Ketahui faktor penyebab nyeri
  2. Ketahui permulaan terjadinya nyeri
    1. Gunakan tindakan pencegahan
    2. Gunakan analgetik secara tepat
    3. e.  Laporkan gejala
      1.  Laporkan kontrol nyeri
NOC II : Tingkat Nyeri
  1.    Melaporkan nyeri berkurang atau hilang
  2. Frekuensi nyeri berkurang
    1.    Lama nyeri berlangsung
    2. Ekspresi wajah saat nyeri
Skala
Skala 1= Tidak terasa nyeri
Skala 2 = Jarang terasa nyeri
Skala 3 =Kadang-kadang terasa nyeri
Skala 4 = Sering terasa nyeri
Skala 5 =Terus-menerus terasa nyeri
NIC I  : Manajemen Nyeri
  1. Lakukan pengkajian nyeri secara menyeluruh meliputi lokasi, durasi, frekuensi, kualitas, keparahan nyari dan factor pencetus nyeri
  2. Observasi ketidaknyamanan non verbal
  3. Ajarkan untuk menggunakan teknik non farmakologi misal relaksasi, guided imageri, terapi music dan distraksi
  4. Kendalikan factor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan misal suhu, lingkungan, cahaya, kegaduhan
  5. Kolaborasi: pemberian analgetik sesuai indikasi
NIC II : Manajemen analgetik
  1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan tingkat nyeri sebelum mengobati pasien
  2. Cek obat meliputi jenis, dosis dan frekuensi pemberian analgetik
  3. Cek mengenai riwayat alergi obat.
  4. Tentukan jenis analgetsik (narkotik, non-narkotik, NSAID) di samping tipe dan tingkat nyeri.
  5. Tentukan analgetik yang tepat, cara pemberian dan dosisnya secara tepat.
  6. Monitor tanda-tanda vital sebelum dan setelah pemberian analgetik.
Dx 4: Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan keadaan orang terdekat dan kurang pengetahuan terhadap kondisi anak.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan  tentang selama 1 X24 jam diharapkan koping keluarga menjadi efektif  ditunjukkan dengan koping keluarga berskala 4.
NOC  : Koping Keluarga
  1. Keluarga menunjukkan rasa sayang dan dukungan terhadap anak
  2. Tidak ada depresi
  3. Mampu mengelola masalah
  4. Orang tua tidak menunjukkan rasa malu
Skala
Skala 1= Sangat berbahaya
Skala 2= Berbahaya
Skala 3= Sedang / tidak terlalu berbahaya
Skala 4= Sedikit berbahaya
Skala 5=Tidak berahaya
NIC  :  Family Support
  1. Dengarkan perasaan keluarga.
  2. Bangun hubungan kepercayaan dengan keluarga.
  3. Sediakan keluarga informasi tentang perkembangan pasien.
  4. Sertakan anggota keluarga untuk mermbuat keputusan tentang perawatan pasien.
  5. Gunakan mekanisme koping adaptif.
  6. Hargai dan dukung mekanisme koping yang adaptif yang digunakan oleh keluarga.
  7. Sediakan umpan balik untuk memperhatikan koping keluarga.
  8. Konsultasikan dengan anggota keluarga untuk menambahkan koping yang efektif.



Dx 5 : Kecemasan keluarga berhubungan dengan status kesehatan anaknya.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan mengenai teknik menurunkan cemas selama 1 X 24 jam diharapkan kecemasan keluarga  berkurang ditunjukan dengan kontrol cemas berskala 4.
NOC  : Kontrol Cemas
  1. Monitor intensitas cemas
  2. Hilangkan penyebab cemas
  3. Turunkan stimulus lingkungan ketika cemas
  4. Cari informasi untuk menurunkan cemas
  5. Gunakan strategi koping yang efektif
  6. Laporkan kepada perawat penurunan lama cemas
Skala :
Skala 1 = tidak pernah dilakukan
Skala 2 = jarang
Skala 3 = kadang-kadang
Skala 4 = sering
Skala 5 = selalu dilakukan
NIC : Menurunkan Cemas
  1. Ciptakan hubungan saling percaya
  2. Kaji tingkat kecemasan
  3. Anjurkan keluarga klien untuk membicarakan kecemasan dan berikan umpan balik tentang mekanisme koping yang tepat.
  4. Tekankan bahwa kecemasan adalah masalah yang umum terjadi pada orang tua klien yang anaknya mengalami masalah yang sama
  5. Ciptakan lingkungan yang tenang, tunjukkan sikap ramah tamah dan tulus dalam membantu klien.
  6. Anjurkan  keluarga untuk menyampaikan tentang isi perasaannya.

Dx 6.         :Kurang pengetahuan mengenai penyebab proses,prognosis penyakit berhubungan dengan kurangnya informasi.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan tentang pendidikan kesehatan mengenai proses penyakit selama 1 X 24 jam diharapkan pasien dan keluarganya dapat mengerti atau  lebih paham mengenai penyakitnya ditunjukkan dengan Proses openyakit berskala 4.
NOC : Proses Penyakit
  1. Kenal nama penyakit
  2. Dapat menjelaskan mengenai proses penyakit
  3. Dapat menjelaskan sebab atau faktor yang mempengaruhi
  4. Dapat menjelaskan tanda dan gajala  penyakit
  5. Dapat menjelaskan akibat dari penyakit
  6. Dapat menjelaskan prognosis penyakit
Skala
Skala 1 = Tidak mengetahui
Skala 2 = Terbatas pengetahuannya
Skala 3 = Sedikit mengetahui
Skala 4 = Banyak pengetahuannya
Skala 5 = Intensif atau mengetahuinya secara kompleks
NIC : Pendidikan Kesehatan
  1. Identifikasi faktor dalam atau luar untuk menambah / meningkatkan motivasi mengenai tingkah laku kesehatannya.
  2. Tentukan hubungan individu dengan latar belakang sosial budaya pada individu, keluarga atau masyarakat mengenai tingkah laku kesehatannya.
  3. Hindari menggunakan teknik menakut-nakuti untuk memotivasi orang mengubah tngkah laku / gaya hidup sehatnya.
  4. Kembangkan materi pendidikan dengan penulisan masalah yang umum terjadi pada orang tua klien yang anaknya mengalami masalah yang sama (difteri)
  5. Ciptakan lingkungan yang tenang, tunjukkan sikap ramah tamah dan tulus dalam membantu klien.
Dx 7 : Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekret berlebih.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tentang manajemen jalan nafas selama 1 x 24 jam  diharapkan bersihan jalan nafas  pasien  efektif  ditunjukkan dengan Airway patency berskala 4.
NOC : Airway patency
  1. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih
  2. Menunjukakan jalan nafas yang paten
  3. Mampu mengidentifikasi dan mencegah faktor yang dapat menghambat jalan nafas.
Skala
Skala 1 = Tidak pernah menunjukan
Skala 2 = Jarang menunjukan
Skala 3 = Kadang menunjukan
Skala 4 = Sering menunjukan
Skala 5 = Selalu menunjukan
NIC : Air way management
  1. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
  2. Auskultasi suara nafas
  3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
  4. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
  5. Moniror respirasi dan starus O2
  6. Lakukan fisioterapi dada untuk mengeluarkan sekret

Dx 8 : Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan proses penyakit.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tentang tentang pengendalian infeksi selama 1 x 24 jam  diharapkan infeksi pada pasien  tidak terjadi  ditunjukkan dengan  pasien terhindar dari infeksi dengan skala 4.

NOC : Pengendalian resiko
  1. terbebas dari gejala an tanda-tanda infeksi
  2. menghindari pajanan terhadap ancaman kesehatan
  3. mengubah gaya idup untuk mengurangi risiko
  4. lekosit dalam batas normal, TTV dalam batas normal
Skala
Skala 1 = Tidak pernah menunjukan
Skala 2 = Jarang menunjukan
Skala 3 = Kadang menunjukan
Skala 4 = Sering menunjukan
Skala 5 = Selalu menunjukan
NIC : Pengendalian infeksi
  1. Pantau TTV dengan ketat, khususnya adanya peningkatan frekuensi jantung dan suhu serta pernafasan yang cepat dan dangkal untuk mendeteksi rupturnya apendiks.
  2. Observasi adanya tanda-tanda lain peritonitis ( misal hilangnya nyeri secara tiba-tiba pada saat terjadi perforasi diikuti dengan peningkatan nyeri yang menyebar dan kaku abdomen, distensi abdomen, kembung, sendawa karena akumulasi udara, pucat, menggigil, peka rangsang untuk menentukan tindakan yang tepat.
  3. Hindari pemberian laksatif,karena dapat merangsang motilitas usus dan meningkatkan resiko perforasi.
  4. Pantau jumlah SDP sebagai indikator infeksi.
  5. Lindungi pasien dari kontaminasi silang.

Dx. 9. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
Tujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan  tentang manajemen energi selama 1 X 24 jam diharapkan  pasien dapat beraktivitas tanpa mengalami kelemahan ditunjukkan dengan konservasi energi berskala 4..
NOC : Konservasi energi
  1. Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan tekanan darah, nadi, dan RR
  2. Mampu melakukan aktivitas secara mandiri.
NIC : Managemen Energi
  1. Tirah baring pada pasien dan bantu segala aktivitas sehari-hari, atur periode istirahat dan aktivitas
  2. Monitor terhadap tingkat kemampuan aktivitas, hindari aktivitas yang berlebihan
  3. Tingkatkan aktivitas sesuai dengan toleransi
  4. Monitor kadar enzim serum untuk mengkaji kemampuan aktivitas
  5. Monitor tanda-tanda vital dan atur perubahan posisi.
  6. Monitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat.





C .  Evaluasi
Kriteria Hasil
Skala
Dx  1
  1. Frekuensi pernafasan dbn                                                                                                                                                                     4
  2. Irama nafas sesuai dengan yang diharapkan                                                                                                                               4
  3. Pengeluaran sputum pada jalan nafas.                                                                                                                                            4
  4. Tidak ada suara nafas tambahan                                                                                                                                                       4
  5. Bernafas mudah                                                                                                                                                                                         4
  6. Tidak ada dyspnea                                                                                                                                                                                   4

4
4
4
4
4
4
Dx 2
  1. Laporkan nutrisi adekuat                                                                4
  2. Masukan makanan dan cairan adekuat                                    4
  3. Energi adekuat                                                                                     4
  4. Massa tubuh normal                                                                           4
  5. Ukuran biokimia normal                                                                  4

4
4
4
4
4
Dx 3
1.Ketahui faktor penyebab nyeri                                                     4
2.Ketahui permulaan terjadinya nyeri                                           4
3. Gunakan tindakan pencegahan                                                   4
4.Gunakan analgetik secara tepat                                                   4
  1.  Laporkan gejala                                                                                  4
  2.  Laporkan kontrol nyeri                                                                   4
  3.  Melaporkan nyeri berkurang atau hilang                                4
  4. Frekuensi nyeri berkurang                                                              4

4
4
4
4
4
4
4
4
Dx 4
  1. Keluarga menunjukkan rasa sayang dan dukungan terhadap anak
  2. Tidak ada depresi
  3. Mampu mengelola masalah
  4. Orang tua tidak menunjukkan rasa malu


4
4
4
4
Dx 5
  1. Monitor intensitas cemas
  2. Hilangkan penyebab cemas
  3. Turunkan stimulus lingkungan ketika cemas
  4. Cari informasi untuk menurunkan cemas
  5. Gunakan strategi koping yang efektif
  6. Laporkan kepada perawat penurunan lama cemas

4
4
4
4
4
4
Dx 6
  1. Kenal nama penyakit
  2. Dapat menjelaskan mengenai proses penyakit
  3. Dapat menjelaskan sebab atau faktor yang mempengaruhi
  4. Dapat menjelaskan tanda dan gajala  penyakit
  5. Dapat menjelaskan akibat dari penyakit
  6. Dapat menjelaskan prognosis penyakit

4
4
4
4
4
4
4
Dx 7
  1. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih
  2. Menunjukakan jalan nafas yang paten
  3. Mampu mengidentifikasi dan mencegah faktor yang dapat menghambat jalan nafas

4
4
4
Dx 8
  1. terbebas dari gejala an tanda-tanda infeksi
  2. menghindari pajanan terhadap ancaman kesehatan
  3. mengubah gaya idup untuk mengurangi risiko
  4. lekosit dalam batas normal, TTV dalam batas normal

4
4
4
4
Dx 9
  1. Menghindari pajanan terhadap ancaman kesehatan
  2. Mengubah gaya idup untuk mengurangi risiko
  3. Mekosit dalam batas normal, TTV dalam batas normal
  4. Merpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan tekanan darah, nadi, dan RR
  5. Mampu melakukan aktivitas secara mandiri
4
4
4
4
4
4







DAFTAR PUSTAKA
Fuadi, Hasan. 2008. Asuhan keperawatan difteri. www.detikhealth.com.  7 juni 2008.www.medicastrore.com
Iwansain.2008. Difteria.www.iwansain.wordpress.com.7 juni 2008 
Jauhari,nurudin. 2008. Imunisasi Difteri.
Kemala, Rita Wahidi. 1996. Nursing Care in Emergency. Jakarta: Fakultas Ilmu Keperawatan UI 
Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius. 
Nelson. 1992. Ilmu Kesehatan Anak Bagian 2. Jakarta: EGC 
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC
Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
 http://kumpulan0askep.wordpress.com/2011/06/02/askep-difteri/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar